Kadang-kadang orang merasa perlu untuk lepas dari lingkungan toksik, memurnikan kembali diri dari pengaruh-pengaruh eksternal (lingkungan sekitar). Karena mereka tidak ikut bertanggungjawab atas vibrasi orang lain. Sepositif apapun, interaksi intens terhadap lingkungan “tidak sehat” (toksik) akan memberi pengaruh.
Mungkin benar Vex King mengatakan bahwa perlu kesederhanaan dalam lingkaran pertemanan. Lengkapnya, ia mengatakan, “Sederhanakan lingkaran pertemananmu. Pertahankan mereka yang menambah nilai dalam hidupmu; singkirkan yang tidak. Sesuatu yang lebih sedikit selalu lebih bermakna ketika kekuranganmu berarti kelebihan."
Salah satu “lingkungan tidak sehat” paling purba adalah kisah Qabil. Bagaimana ia bergaul dengan iblis dan nafsunya sehingga merasa iri dan dengki atas kelebihan Habil—saudaranya. Habil terbunuh olehnya. Keduanya memiliki perangai yang bertolak belakang.
Hubungan terpanjang dalam hidup adalah hubungan dengan diri sendiri. Bila hubungan ini terbina dengan baik, maka hubungan dengan orang lain akan baik. Qabil berhubungan dengan teman yang telah menggoda Nabi Adam hingga diturunkan ke bumi. Maka ia termakan hasutan iblis dan akhirnya membunuh saudaranya, Habil. Mengapa? Karena di dalam dirinya ada rasa dengki dan iri. Ia tak selesai dengan urusan dirinya sendiri—hubungan dengan diri sendiri.
Iblis tidak bodoh untuk terlalu menggoda Qabil. Ia menyusup dalam janji-janji manis. Memanasinya, bahwa persembahannya tidak diterima oleh Allah, sedangkan sesembahan Habil diterima olehNya. Iblis menjadikan Qabil tidak menerima dengan kenyataan itu. Kepintaran iblis menggoda dalam kata-kata manis dan indah. Seolah iya menjadi pro Qabil yang siap menolong dan mendukungnya. Sayangnya, penyesalan datang belakangan.
Teman bermacam-macam; ada yang baik dan buruk. Bila tegas di antara keduanya, maka mudah untuk menghindar terhadap teman yang buruk. Kenyataannya, teman itu ada yang abu-abu. Manis di depan, meracun di belakang. Kata orang, “beda depan beda belakang.” Barangkali maksudnya baik, atau memang jelas-jelas toksik. Mereka hanya menyisakan luka mental. Mereka tanpa sadar akan akibat dari ucapan dan tindakan mereka terhadap orang lain. Biasanya, orang yang memiliki kendali lebih terhadap orang lain. Teman yang lebih kaya, orang tua terhadap anaknya, atas terhadap bawahannya dan sebagainya.
Ada yang mengatakan, “hidup itu masalah pilihan. Apakah kita akan membiarkan sampah masuk ke dalam tubuh kita, atau kita memilih hal positif yang boleh masuk ke dalam tubuh.” Dibutuhkan spritualisme yang tinggi untuk menfilter sikap dan ucapan toksik. Namun, sekuat apapun bila terus bersinggungan dengan mereka, akhirnya akan terpengaruh. Seseorang menjadi korban bagi perilaku toksik orang lain.
Vex King mengatakan bahwa “Jauh lebih mudah untuk melihat hal-hal baik dalam hidup ketika kamu dikelilingi oleh orang-orang yang bermental positif.” Tidak hanya menjaga jarak, tetapi menghindar sejauh mungkin dari mereka agar tidak terpengaruh. Butuh waktu lama untuk menjadi pribadi yang tumbuh positif hingga tidak terpengaruh oleh perilaku orang lain.
Orang lain mungkin akan menilai egois. Itu penilaian mereka, dan itu benar bila sesuai dengan konteksnya. Selama tidak merugikan orang lain, mengapa harus mau mendengarkan celoteh yang didasarkan oleh penilaian yang juga egois. Masalah, pribadi toksik seringkali mengelak dari masalah dan melimpahkan seolah-olah orang lainnya yang harus merasa bersalah. Orang lain tak perlu merasa bersalah atas kesalahan yang tidak mereka buat.
Sifat toksik yang hadir dalam pribadi seseorang terwujud dalam beberapa bentuk. Mereka lebih mudah mengkritik daripada mencari solusi bersama. Banyak mengharap tanpa memberi bimbingan dan menyerahkan sepenuhnya kepada orang lain. Kurang memberi rasa hormat dan respek kepada orang lain dan tidak mendukungnya. Atau mereka mungkin menghina, mengejek, mengabaikan, melecehkan fisik, memanipulasi dan meremehkan orang lain. Mereka sulit membuat perubahan. Akibatnya, orang lain menjadi korban. Ia senantiasa berada dalam vibrasi negatif.
Bukan sebuah paradoks; manusia memikirkan diri sendiri tanpa mengorbankan orang lain. Bukan masalah tidak sosialis. Tetapi lingkungan toksik seringkali merugikan dan menyisakan luka yang tak berkesudahan bahkan menggenerasi.
Seseorang tentunya menginginkan lingkunga yang positif. Ia pun dapat tumbuh dan berkembang dengan baik. Potensi dan kelebihan mendapatkan dukungan dan respek. Tumbuh sesuai dengan harapan dan nilai-nilai dirinya, bukan harapan berlebih dari orang lain.
Di sisi lain, seseorang menginginkan agar semua orang berhenti bersikap toksik. Tetapi, ia lupa meninjau ulang perilaku mereka sendiri. Sikap orang lain tak lebih merupakan cerminan sikap kita. Perhatikan bagaimana hubungan kita dengan diri sendiri, adakah kecenderungan toksik di dalamnya. Toksik diri sendiri pada gilirannya membawa toksik kepada orang lain.
Orang akan menilai, pandangannya yang juga egois. Terjadilah saling balas-membalas. Karena kamu meremehkan, maka nanti saat saya berkuasa saya juga akan meremehkanmu. Atau, kamu dulu seringkali menghina saat aku di bawah, sekarang terimalah perilakumu. Ia menganggap itu sebagai lazim, dan boleh saja membalas orang yang semena-mena kepada kita. Ungkapan seperti ini sebenarnya toksik.
Saat mengajar, seringkali saya lontarkan ke para siswa. Kalian berbuat baik kepada orang lain bukan karena orang lain bebuat baik kepada kalian. Tetapi, karena nilai yang ada di dalam diri kalian. Nilai kalian menuntut berbuat baik tanpa terpengaruh oleh balasan, pamrih, keburukan orang lain. Berbuat baik karena rasa penghambaan kepada Allah SWT.
Seringkali seseorang berbuat baik karena ia diperlakukan baik. Giliran diperlakukan buruk, oleh toksik lingkungan ia pun ikut toksik dan memperlakukan orang lain dengan buruk. Kata pepatah arab assarru bissarri, (keburukan dibalas keburukan).
Balaslah ketoksik-an orang lain dengan kebaikan, teruslah bersabar, memaafkan mereka. Barangkali, mereka belum berhasil keluar daripada sikap mental tersebut. Mereka butuh uluran tangan dan kasih sayang. Tapi, bila memang belum ada tanda-tanda keberhasilan, mengatur lingkungan diri sendiri dari lingkungan toksik lebih baik. Hindari dan jauhi mereka sejauh mungkin agar pengaruh toksik tidak semakin menjalar.