Seorang tukang pentol menghitung uang di sela-sela waktu luangnya. Sambil lalu menunggu pelanggan setia, dalam benaknya, ia berdagang untuk keuntungan. Kemudian, uang itu beralih kepada nyonya “di rumah”. Seseorang yang telah menyerahkan seluruh hidup-matinya untuk seorang penjual pentol. Ia tak malu mengakui, profesi apapun selagi halal adalah mulia di hadapan Allah Swt. Suami istri saling mendukung. Kunci rumah tangga yang berkah; tak perlu kaya.
Pelanggan pentol kebanyakan para siswa. Waktu istirahat adalah waktu yang ditunggu. Karena di saat itu, siswa datang bergerombolan dengan grup pertemanannya. Meski kadang juga ada pembeli dari kalangan orang-orang sekitar; orang tua yang kebetulan lewat, atau pun pedagang es doger yang kebetulan ingin yang pedas-pedas.
Ia tetap yakin, kalau diam tak menghasilkan apapun. Ia berusaha sebaik mungkin, bergerak maju dan tidak diam (mager). Ada satu prinsip penting, yaitu albarokah ma’al harokah. Ia berkah, jangan mager (berdiam tanpa melakukan apapun). Jadi, ia tetap diberi kesabaran untuk terus berjuang.
Saya ingat betul, dia berdagang sejak 20 tahun lalu. Saat pagar sekolah masih mengkilat dengan warna catnya. Di tempat yang tetap sejak dulu ia menyenderkan sepeda rombongnya. Dengan dominan berwarna merah menarik perhatian. Ia mengayuh sepeda itu dengan jarak tiga kilometer lebih. Berangkat dari rumahnya pagi-pagi sekali, kembali ke rumah jam 12.30 siang hari.
Ibarat bisnis apapun, perlu ada inovasi. Inovasi pentol tahu benar-benar dilakukan oleh penjual pentol ini. Dari tahu model pipih, hingga model bontot. Dari tahu pentol pakai lidi hingga pakai plastik bening dengan tomat seabrek, bahkan terkadang ada menu tambahan kuah atau dan mie. Ia tetap fokus pada menu utama “pentol”, pentol goreng, pentol kuah, pentol walik dan segala macam peranakannya (turunannya). Tapi yang jelas, ia tak menjual tahu pelangi dengan aneka warna.
Si penjual tak seperti kebanyakan, ia hanya menjajakan rombong tanpa repot-repot “bersiaran”; pentol-pentol-pentol. Cukup pakai pengeras suara kalau dipencet akan berbunyi, “ngik nguk ngik nguk ngik nguk”. Di balik kegigihannya, ia termasuk penjual tak tergerus zaman. Bahkan, kini kawannya yang juga tukang pentol telah hilang oleh kematian.
Di situlah, sebagaimana diutarakan oleh Antoine de Saint-Exupery, orang dewasa gagal di belahan bumi sana. Mereka tak gentar, tetapi itu karena mereka tak bisa membayangkan sesuatu yang lain dari apa yang kasatmata, yang praktis dan lazim. Penjual telah memasuki usia senja, ia tak peduli lagi ingin kaya, mobil dan jabatan yang kasat oleh mata. Baginya, perjuangan mencari nafkah untuk mengajarkan kegigihan bagi anak didiknya. Bukan murni untuk kekayaan apalagi untuk hidup berfoya-foya.
Belakang saya baru tahu, ternyata anak-anaknya telah berhasil. Di antaranya telah memiliki rumah, dan mobil. Bahkan, anehnya penjual pentol itu pernah berpapasan dengan saya di pasar. Ia membeli bahan-bahan mentah untuk membuat pentol dengan mengendarai sepeda motor. Saat berjualan ia mengendarai sepeda rombong tua.
Ia lebih memilih hidup sederhana, daripada hidup dengan penuh kenyamanan. Bahkan, perjalanan untuk mengayuh sepeda baginya ibarat sebagai perjalanan spritual. Ia mengeja dan mengeja dari arti semua kondisi yang dihadapinya. Untuk merasakannya nyaman, ia harus tak nyaman. Ingat, selalu ada dua sisi dalam kehidupan ini. Di balik tepuk tangan oleh orang yang melihat keberhasilan ada perjuangan yang berdarah-darah yang tak terlihat dan terlupakan.
Ia ingin mengajarkan kepada anak-anaknya tentang arti sebuah kegigihan. Kebesaran diawali dari hal yang kecil, remeh dan tak begitu berarti. Namun, ketika hal itu dikerjakan dengan terus menerus akan menjadi sesuatu yang sangat luar biasa.
Victor Frankl pernah mengatakan bahwa makna hidup terdapat dalam sebuah perjuangan. Tenggelam di dalam dasar sebuah kerja keras hingga ambang batas penghabisan. Barulah kemudian mutiara makna hidup ditemukan. Ada banyak profesi yang dikerjakan dengan kegigihan di ambang batas maksimal membuahkan kepuasaan—salah satu komponen makna hidup.
Tukang pentol mungkin tidak kaya secara materi, tetapi ia kaya hati dan penuh kepuasan. Mengayuh sepeda setiap hari demi keluarga yang menanti di rumah.
Di balik usaha yang sungguh-sungguh dan penuh pengorbanan, cara-cara melakukannya juga turut menentukan. Tak ada gunakan berjuang, namun justru mengorbankan orang lain. Tak ada gunakan banting tulang, toh akhirnya hanya dinikmati sendiri tanpa peduli lingkungan sekitar.
“Menghimpun untuk membagikan dan menebarkan”. Barangkali terkesan aneh, tapi begitulah kehidupan. Saat kau menahan apa yang didapatkannya, maka ia akan diambil secara paksa oleh keadaan. Dengan konsep, “bekerja keraslah sampai orang lain menganggapmu tak waras dengan cara-cara yang baik.”
Tetap waras di tengah-tengah orang yang tak waras oleh lisannya. Perjuangan toh hasilnya tak lain akan kembali ke siapa? Tentu, kepada mereka yang berjuang. Tak mungkin kau tanam jagung akan tumbuh padi. Atau, tak mungkin padi kau tanam, kau biarkan dan hidup tanpa diairi. Semua butuh proses dan waktu. Kau tanam sekarang, suatu saat kau tuai. Bila tak kembali sesuai harapan, akan datang dalam bentuk yang berbeda.
Makna hidup juga didapatkan daripada penghayatan. Mengerjakan sesuatu yang penuh kesadaran, menikmati setiap saat. Pak Tukang Pentol menghayati setiap kayuhan adalah ibadah, penggugur dosa. Laki-laki sebagai pemimpin dalam keluarganya bertanggung jawab atas nafkah. Di situlah, nilai agama dalam penghayatan begitu berperan.
Pada puncaknya, penghayatan menghantarkan akan kesadaran bahwa di balik “semuanya” ada campur tangan Allah yang Maha Kuasa. Ada yang bekerja siang malam lupa waktu, tapi justru semakin sulit hidupnya. Ada yang begitu pasrah ngontel sepeda hingga mekkah, akhirnya pun tiba. Seseorang yang disangkakan dan divonis tak lama hidupnya, justru ia hidup lebih lama dari apa yang dibayangkan. Selalu ada “ketidakmasukakalan” dalam kehidupan.
Jadi, “yo wes ben”. Los tawakkal kepada Sang Pemilik Alam Raya. Pengatur segala dari segala yang ada di dunia dan semesta. Dalam kehidupan sehari-hari, mungkin terasa sulit. Tapi nyatanya, perlu dibiasakan dan sedikit paksaan. Dunia tak seganas apa yang dipikirkan. Masih ada yang menyayangi, ketika semua orang memaki. Masih ada yang percaya, saat semua orang meremehkan usahamu.
Kesadaran akan Allah di balik semua yang ada. Kesadaran itu timbul dari penghayatan dan melahirkan makna hidup.