Ketakutan itu dilawan, jangan didiamkan. Disela-sela menjalankan tugas kependidikan, tentu banyak pekerjaan yang harus saya selesaikan; baik pekerjaan mendesak, genting atau boleh ditunda. Dokumen menumpuk di meja kerja. Beberapa map tercecer begitu saja. Kertas demi kertas kian bertambah. Penilaian siswa belum kelar diselesaikan, hatta tugas operator sekolah pun belum tersentuh. Pekerjaan menumpuk kian memupuk ketakutan dan kekhawatiran.
Mungkin tak seberapa besar pekerjaan saya ini. Para pekerja sesuai dengan tingkatannya memiliki intensitas resiko yang lebih. Kerugian yang lebih besar oleh suatu pekerjaan dengan cukup menjanjikan. Para bos perusahaan besar, tentu bergelut dengan ketakutan yang disikapi dengan bijaksana. Ambil resiko, ambil untungnya. Ada yang mengatakan, “kalau ingin kekayaan, harus berani.” Ya, berani bangkrut, berani mengambil resiko. Lihatlah para kartel “perdagangan gelap”, resiko mereka sangat besar.
Pramoedya Ananta Toer mengatakan, “Hidup tidak ada keberanian, adalah hidup yang tak pantas dijalankan.” Ketakutan bisa muncul oleh kesalahan persepsi. Kepada pekerjaan, kepada harapan yang terlalu dibesar-besarkan. Harapan mungkin gagal diraih, mungkin juga diraih dengan senyuman. Post post pekerjaan yang besar kadang menyiutkan mental. Itulah sebabnya, perlu belajar berlayar di ombak yang gemuruh. Agar kuat mengarungi ganasnya kehidupan.
Kekutan bila dihadapi maka akan berkurang. Kenyataan tak seberat seperti yang dipikirkan. Boleh mengeluh, tetapi berlarut-larut membiarkan objek yang dianggap mengancam akan menjadikan kita sebagai ciut. Hadapi meski pahit, mulailah dulu.
Seorang teman yang bekerja di jasa ekspedisi memiliki karir cemerlang. Ia berangkat dari bawahan, hingga diangkat menjadi atasan. Sayangnya, nasibnya tak jadi. Ia tak disukai. Paket-paket pelanggan yang sejatinya harus dihantarkan, entah hilang di dalam gudang. Hpnya pernah dicolong. Entah oleh siapa. Iapun resign. Karena tanggungannya penggantian lumayan besar. Salah satu resiko kurir paket.
Ia tak kuat. Bukan karena tidak mencoba. Atau tak berani menjalani kehidupan. Kejadian ini berulang-ulang. Di saat akan “naik daun” selalu ada saja pihak yang tak senang. Ibarat sinetron-sinetrok keretakan rumah tangga. Dramatis.
Di dalam menjalankan pekerjaan tentu akan ada rintangan. Maju salah, mundur kalah. Menghindar tak lagi memungkinkan, dan diampun menjadi masalah. Tergantung bagaimana kondisi yang paling memungkinkan. Kesempatan yang terbuka, manfaatkan sebaik mungkin demi perubahan. Biarkanlah anjing menggonggong, kafilah tetap berlalu. Setiap komentar yang ada hanya pemuas bagi pemilik kata-kata yang keluar dari mulut penuh kedengkian.
Melihat sesuatunya secara lebih terintegrasi membawa sebuah kesadaran, bahwa setiap potongan peristiwa tidak berdiri independen. Ia saling terkait dalam suatu jalinan kesatuan yang tak terpisahkan. Ketika menyerah sedetik, ia akan melihat bagaimana reaksinya. Bila tetap tegar, maka teruslah tegar. Karena antara dua pilihan; dikalahkan oleh ketakutan atau memenangkannya. Menyerahkan mental oleh perasaan yang bergejolak, atau memilih berbuat untuk menaklukkan ketakutan.
Temukanlah kemungkinan-kemungkinan yang ada. Masalah muncul oleh penyebab, perbaikilah penyebabnya; hilangkan atau rubahlah akan tidak melahirkan masalah turunannya. Tentu, ketegaran diri menjadi suatu kemutlakan. Mental kuat, dan jiwa pemberani dengan keyakinan diri akan melahirkan solusi.
Menjelang tutup tahun 2017, saya menghadapi tantangan ujian akhir magister. Banyak bahan data lapangan yang belum kelar, objek penelitian yang tak mudah dan subjek penelitian yang letaknya juga butuh biaya. Namun, kesabaran yang matang membuahkan hasil. Tetap fokus dan tak goyah oleh deadline yang mencekik. Tetapi berjalan berlahan, meski teman-teman berjalan dengan berlari. Bila dikerjakan, maka hanyalah masalah waktu saja.