Qanaah ialah menerima cukup dan tidak tamak. Karena qanaah, ia tidak bekerja keras, santai-santai saja, hidup apa adanya. Tidak perlu berusaha keras mencari harta, toh rejeki sudah diatur oleh Allah SWT. Tunggu saja, rejeki pasti akan datang kemudian waktu. Ia tak peduli, bila momentnya sudah pas, pasti akan ada rejeki min haitus la yahtasib (rejeki tiba-tiba tanpa disangka-sangka).
Ia lupa dengan realitas hidup yang begitu nyata. Kalau ingin hilangkan dahaga, maka minumnlah. Lapar akan terobati dengan makan. Haus dan dahaga tak akan terobati hanya dengan duduk santai di emperen rumah serambi berharap dan menunggu keajaiban datang. Tidak demikian, itu namanya mendhalimi diri sendiri. Anakanya mau nikahan, malah ngutang. Tetangganya ada yang meninggal malah pusing cari utangan untuk sekedar ikut berbelasungkawa. Ia enak berdzikir di Masjid, tapi istrinya banting tulang jual Siomay di sekolahan. kan lucu. Padahal, sebagai kepala keluarga ia wajib bekerja keras.
Deskripsi di atas merupakan bentuk lain dari pemahaman yang sempit akan arti sebuah qanaah. Kenyataannya, bila qanaah dipahami dengan betul maka ia menjadi harta yang luar biasa. Healing yang menenangkan jiwa, tak perlu healing ke laut atau pun ke gunung. Healingkan hati dengan pemahaman qanaah yang benar. Healang-healing malah pusing bila dengan tanpa cara yang tepat.
Rasulullah SAW bersabda, “Qanaah adalah harta yang tak akan hilang dan simpanan yang tidak akan lenyap”, (HR. Ath-Thabrani dalam kitab Al-Ausath dari Jabir).
Qanaah hati bukan berarti qanaah ikhtiar. Karena manusia diciptakan untuk berusaha dengan sungguh-sungguh. Muslim yang kuat lebih dicintai dan disukai dibanding muslim yang lemah. Kuat secara ekonomi, kuat secara intelektual, kuat secara spritual dan sebagainya. Mana mungkin ekonomi kuat hanya dengan berpangku tangan. Ilmu pun tak akan diperoleh tanpa belajar dengan sungguh-sungguh dan spirtual tidak akan kuat tanpa adanya mujahadah.
Sebenarnya agama Islam menjadi rahmatan lil alamin. Yaitu, memajukan umat manusia menjadi umat yang kuat dan beradab. Bukan justru melemahkan. Qanaah bagi manusia modern sekalipun tetap relevan bagi solusi terbaik bagi problem manusia. Semisal saja sistem demokrasi, Islam telah lama menjalankan sistem musyawarah jauh sebelum sistem demokrasi itu sendiri berkembang. Masalah etos kerja, Islam telah mengajarkan shalat lima waktu dengan segenap syarat, rukun, dan waktu yang ditentukan dengan penuh kedisiplinan.
Jadi, anggapan qanaah itu memiskinkan adalah salah. Sebagaimana anggapan kalau tawakkal tak berusaha, menerima adanya akan menjadikan manusia mandek dan tak berkembang. Banyak daripada sahabat Rasulallah SAW yang kaya raya, berharta, memiliki unta banyak dan perkebunan. Sebut saja semisal Imam Abu Hanifah, yang terkenal sebagai pedagang kaya kain sutera, Malin bin Dinar: penjual kertas tulis. Ada juga Muhallab bin Abi Shufrah si ahli kebun.
Lalu kenapa harus berqonaah? Salah satunya adalah agar tidak bersedih hati atas apa yang hilang dan bersenang hati atas apa yang dimiliki. Karena selain apa yang dimiliki merupakan titipan, dan tidak ada yang abadi di dunia ini. Harta akan lenyap, manusia akan sirna, jabatan akan hengkan hatta orang-orang yang tercintai suatu saat akan pergi selamanya.
Qanaah adalah tiang kekayaan yang sejati. Gelisah merupakan kemiskinan yang nyata. Keduanya tentu berbeda dan tidak bisa disamakan. Kesusahan tak sama dengan kesukaan, kemenangan tak sama dengan kekalahan, dan putus asa tak sama dengan cita-cita. Mereka yang berhasil tak bisa disamakan dengan mereka yang gagal.
Kebaikan-kebaikan banyak didapatkan di dalam qanaah, sebaliknya masalah-masalah banyak ditemui di dalam suatu kesedihan. Al hazn ‘indal mushibati, mushibatun ukhra (kesedihan atas musibah adalah musibah lainnya).