Meski duduk tersipu, tapi jiwa dan pikiran tak mengurungi niat ke Yaman. Hati sudah berangkat ke Yaman, meskipun dapat dikatakan sebagai perjalan nan abstrak yang tidak benar-benar dalam perjalanan ragawi. Tak jauh berbeda, hanya saja raga terkunkung dalam tempat dan jiwa mengembara dalam abstrak. Ya, bukan mimpi imajiner tetapi perjalanan melalui buku.
Yaman bukan sekedar Negara Islami, namun negara dengan budaya dan Islam Tradisional yang penuh dengan pelajaran berharga. Tarim sebagai salah satu kota di Yaman dikenal sebagai kota seribu wali, setiap petak tanahnya adalah tempat yang mustajab berdoa kepada Allah SWT. Terdapat pemakaman yang mashur yaitu pemakaman Zambal. Di situlah tepatnya para Wali-wali Allah SWT dimakamkan; Al Haddad, Assegaff, Al-Muhdhor, Alaydrus, dan Faqih Muqaddam. Alangkah indahnya bila saja hidup menampingi beliau-beliau ini.
Selain itu, yang menjadikan Kota Tarim istimewa yaitu kota asal Wali Songo, para keturunan Nabi dan pusatnya para habaib. Bisa dikatakan duapertiga kaum muslimin yang ada di dunia memiliki nenek moyang yang berasal dari Tarim.
Semangat Ibadah Luar Biasa
Para guru di pesantren pernah berkata, “seseorang itu tergantung temannya. bila dia banyak bergaul dengan orang baik, insyaAllah ia akhirnya akan menjadi baik”. Kehidupan di Tarim begitu indah, semangat beribadah luar biasa. Shalat berjamaah full on time, pasar-pasar dipenuhi pria dan nyaris tidak ada wanita satu pun, para penghafal al-quran mudah ditemui di mana-mana. Bahkan, di pasarnya pun tidak sepi daripada waliyullah. (la ya’riful waali illal waali).
Tarim memilik banyak masjid, bahkan ratusan masjid. Saat ramadhan tiba, kondisi di tarim luar biasa. Ada istilah “Tarawih Estafe”. Misalnya, tarawih di jam 19.00 di masjid ini, selanjutnya 19.45 di masjid timurnya, jam 20.00 di masjid desa sebelah, jam 21.00 di masjid sebelahnya lagi dan terus berestafet hingga memasuki waktu sahur. Kebiasaan Penduduk Tarim terutama 10 akhir bulan ramadhan melaksanakan shalat tarawih dengan berpindah-pindah. Maksudnya, habis tarawih di masjid A, shalat tarawih di masjid B, dan seterusnya. Jadi, Shalat tarawihnya tidak hanya 20 rakaat, puluhan bahkan ratusan rakaat.
Kisah Habib Ali al-Jufri Mengenai Ridha Guru
Suatu saat, Habib Ali al-Jufri mendapatkan undangan suatu musyawarah yang dihadiri beberapa ulama dari berbagai aliran, madhzab dan golongan. Beliau tiba-tiba mendapatkan pertanyaan yang pelik dan sensitif. Namun, beliau bisa melaluinya dengan jawaban yang memuaskan dan membuat semua undangan takjub.
Setelah acara itu, salah satu undangan ada yang bertanya kepada beliau; darimana beliau mendapatkan jawaban tersebut? Habib Ali pun menjawab;
“saat saya ditanya, entah tiba-tiba teringat akan guruku “Habib Abdul Qadir Assegaf. Saya menjadi begitu ingat suatu peristiwa di waktu itu, saat Habib Abdul Qadir baru saja keluar selesai dari Majelis. Melihat beliau keluar, lantas saya lekas mengambilkan sandal beliau lantas membalikkannya. Beliau tersenyum kepada saya, saya pun yakin barokah senyuman dan ridha beliau saat itu yang menjadikan saya bisa menjawab pertanyaan tadi.”
Nasihat Abu Yazid al-Bhustami, “Kapan seseorang dikatakan tawadhu’?”
اذا لا يرلى لنفسه حالا ولا مقالا ولا يرى في الناس من هو شرّ منه
“Ketika ia tidak memandang kebaikan atau keistimewaan apapun dalam dirinya, dan ketika ia meyakini bahwa di dunia ini tidak ada yang lebih hina dibanding dirinya.”