"Penglihatan mata akan keindahan dunia oleh perantara cahaya. Pantulan Cahaya dari objek benda menembus indera penglihatan. Namun, apalah arti mata bila dalam kegelapan?"
Masyarakat gusar, dan ingin mengutuk bahkan melaknat. Tongkrongan ibu-ibu menyelip ghibah-ghibah "seorang santri yang pernah kepergok mencuri". Mereka pulang, di dalam rumah disampaikanlah kepada bapak. Bapak mengangguk dan terdiam. "Sudah-sudah, itu bukan urusan kita."
"Bukan urusan gimana, wong dia santri dan kepergok Si Paimin sedang mencuri sabun mandi, dan sabun cuci", sahut si ibu. Paimin adalah Pemilik Toko Seduluran Sejati. "Kok bisa ya, wong dia tahu halal-haram". Ketusnya lagi kepada si Bapak.
Si Bapak terdiam. Ia tak ingin menyahut, dan membiarkannya ngoceh sa'karepe dewe. Bapak paham betul, bila pembicaraan itu ada "tandingannya" pasti semakin subur ghibah-ghibah di dalam rumah tangganya. Terlepas apakah tandingan pembicaraan itu bersifat pro atau kontra. Hematnya, ia tak ingin meladeni si Ibu.
Sebatang rokok di tangan, dan secangkir kopi menemani pagi itu. Sehari, setelah kemarin ibu marah-marah karena dibiarkan ngoceh sendirian tanpa lawan. "Untung saja kemarin itu saya tak ngeladeni si ibu", ungkapnya dalam hati. Ia berpikir, sambil menghela napas dengan sekali-kali mata terpejam. Sahdu, tentram dan nyaman.
Ketenangan itu buyar, semerbak bau kotoran sapi menyerbunya dari jarak 6 meter. Kotoran itu jatuh tepat di depan pagar rumahnya, saat tetangga jauhnya sedang lewat menuntun sepasang sapi ke sawah. "Woi, bengong saja pak!" Timbal pemilik sapi. Ia berlalu, kemudian pergi.
"Asuu.....". Reflek si bapak misu-misu. Namun dalam sekejap ia lari masuk ke rumah. Malu, katanya. Sekarang sudah tobat dari dunia "pemisuan". Tapi apa lacur, kadang refleks begitu saja. Seperti pak ustad di tipi waktu itu yang pernah keseleo lidah ketika mengucapkan "kontrol".
"Wes toh, ibu' denger. Gayamu mikar-mikir. Jangan ganggu aku, aku sedang dalam dunia tafakkur. Nyatanya kau mengucapkan 'asuuuu'. pret...!" Si Ibu menumpahkan kekesalannya. Tapi, sekali lagi, si bapak terdiam.
Penghakiman oleh si Ibu, baik kepada si pencuri amatiran ataupun kepada si bapak jelas tidak merubah keadaan. Si Pencuri tetap mencuri karena kebutuhan di pondok, yang kedua orang tuanya sudah tiada, sedangkan kerabat terdekat pun tak peduli lagi. Sementara si bapak berpikir, "Biarlah, cobaan orang yang mau berubah memang seperti ini. Selalu ada saja orang yang tak percaya".
Manusia adalah tempat salah dan dosa. Tidak ada manusia berwujud malaikat tanpa dosa, kecuali para nabi. Di saat seseorang berusaha untuk berubah dari "dosa" ke "amal baik" kadang sering "diserang" oleh netijen atau mulut-mulut pengangguran.
"Bu' ibu', tahu nggak si Anu udah pakai jilbab, ia sudah bawa tasbih ke mana-mana". Ibu'-ibu' yang lain menimpalinya, "Halah, palingan cuma seminggu." Sampai akhirnya sampailah pembicaaan itu kepada manusia yang sedang dalam tahap awal menuju perubahan.
Si Bapak melintas, dan terdiam sejenak. Ia percepat jalannya, seolah-olah sound system tubuhnya dinonaktifkan. Ibu'-ibu' tetap ngibah di amperan rumah si bapak.
"Jedder....." Suara lemparan ember melayang jatuh tepat di tengah ibu'-ibu'. Isi sampah busuk berjatuhan. Mereka kaget, berhamburan dengan pasti. Namun si bapak menghalau, "Stop!" Si Bapak kehilangan kesabaran, dengarkan aku, bu'-ibu'.
Mereka terdiam, terpaksa duduk kembali di amperan rumah bapak. Si Bapak Mulai berbicara. "Wes toh bu', ojo ghibah-ghibah, gellem toh mangan sampah kuwi sa' wadahe pisan?" (Sudah lah bu, jangan ghibah-ghibah, mau ngga disuruh makan sampah itu dan wadahnya). Baru sekarang, si Ibu Terdiam bersama-sama ibu'-ibu group RT. "Ghibah itu seperti memakan daging saudaranya, lebih jijik dari sampah ini", si Bapak Menuntaskan nasihatnya.
Ghibah hanya akan menambah kegelapan di dalam hati. Penglihatan hati menjadi buta, bahkan terhadap aib diri sendiri.