“Pada akhirnya akan kembali, atau gugur di tengah perjalan menuju kembali.”
Makhluk apapun, berawal dari tiada menjadi ada. Dan akan kembali menuju kepada ketiadaan. Apapun itu, tak terkecualikan. Kekayaan, akhirnya akan lenyap. Kekuasaan, akhirnya akan direbut orang. Penghormatan, pada akhirnya akan tergantikan. Hanya saja, cara di dalam menuju “kembali” bermacam-macam.
Secara langsung atau tidak, lama atau sebentar. Semua akan kembali kepada sesuatunya di mana ia bermula. Tak berlebihan bila dikatakan, “Hidup itu hanyalah permainan, dan senda gurau.”
Kau lihat jenderal paling berpengaruh sekalipun, pada akhirnya akan lenyap dari dunia ini. Keangkuhan dunia barat, juga tak lebih akan bernasib sama. Sebagaimana peradaban Islam dahulu kelak yang lenyap.
Seberapa baik seseorang mengisi post-post di antara “ada” dan kembali “tidak ada” sangatlah berpengaruh. Untuk siapa saja yang berada di dekatnya. Bahkan, meski jasadiyahnya telah tak ada, ruh dan jiwanya tetap hidup selamanya. Pengisian itu sebagai implimentasian “khairun naas anfa’uhum linnas”.
Misal saja, saat ia berkuasa penuh dengan harta melimpah, setidaknya ia memikirkan bagaimana hal itu akan lenyap. Hanya menunggu waktu saja. Saat kondisi puncak, ia harus benar-benar “menjadi manusia”. Bahwa, ia meng-ada bersama manusia-manusia lain, saling berbagi dan tidak tamak dalam keserakahannya.
Ia harus sadar, bahwa ia tidak hidup sendiri di dunia. Ia hidup senantiasa bersama-sama, membutuhkan orang lain. Atau lebih tinggi, ia tidak meng-ada sendiri dan tercipta. Ia sengaja diciptakan oleh sesuatu yang Maha Kuasa dan Maha Segala-galanya.
Kesadaran kolektif dan penciptaan ini menambah nilai arti dari sebuah perjalanan menuju “kembali”. Akhir yang baik, dan bermanfaat bagi orang lain.