Menilik kembali catatan sejarah, mengenai Daulah Islamiyah; Daulah Umayyah (660-750 M) dan Daulah Abbasyiah (750-1215 M). Kesannya yaitu perebutan kekuasaan dan kemewahan dengan upaya pengorbanan dan segenap tipu daya.
Zaman terbaik yaitu zaman “sahabat”, disusul zaman tabi’in, tabi’it tabi’in dan seterusnya hingga manusia di akhir zaman. Zaman yang dimaksud yaitu kualitas keislaman. Daulah Umayah berada di zaman Tabi’in.
Sahdan, di tahun 681 Masehi Husein bin Ali ibn Abi Thalib terbunuh oleh tentara Yazid bin Mu’awiyah dari Bani Umayah. Husein merupakan cucu dari beliau Rasulullah SAW. Ia terbunuh dengan sangat mengenaskan. Kepalanya dipisah dari tubuhnya. Kemudian, oleh Ubaidillah bin Ziad diserahkannya kepada kholifah Yazid di Damaskus.
Tentu ini merupakan kesedihan bagi umat Islam, sangat menyedihkan. Di bawah Daulah Umayah yang bernama Yazin bin Mu’awiyah yang karena tindakannya menjadi faktor runtuhnya daulah ini.
Mereka yang beragama, belum tentu mencerminkan perilaku agamanya. Bila nafsu berkuasa, agama menjadi nomer dua. Mungkin kesimpulan yang terlalu dini, demikian kenyataanya.
Refleksi ini terlepas apakah ada kaitannya dengan Islam atau tidak. Sejarah ini, tak ayal lagi bagaimana kita memandang perebutan kekuasaan perpolitikan di negara kita begitu tinggi animonya. Baik itu dari mereka yang religius, ataupun tidak.
Bila dahulu saja terjadi peperangan memperebutkan kedudukan (kekhilafahan), apalagi sekarang! Tentu bukan asing lagi, mereka yang “pengurus agama” juga bernafsu mencari kedudukan dan kemewahan. Beberapa partai yang awalnya dibentuk untuk merawat nilai agama, justru berubah menjadi ajang unjung diri mencari popularitas-kedudukan dan dukungan. “Ngemis” dukungan sana-sini dengan kedok agama. Luarnya saja yang baik, dalamnya tak ada yang tahu. Itu rahasia, katanya.
Perebutan kekuasaan menjadi ajang sensitif dan eklusif di zaman kita ini. Bahkan, pemilihan setingkat lokal seperti pemilihan kepala desa terkadang menimbulkan korban jiwa. Atau minimal permusuhan abadi sampai beberapa dekade antara dua kubu warga yang berbeda. Toh mereka semua tahu aturan agama; bahwa membunuh adalah dosa besar, menyikiti hati sesama muslin adalah dosa, mengadu domba juga berdosa dan bahkan tidak menyapa saudara muslimnya lebih tiga hari juga berdosa.
Kita heran, namun tidak tepat bila kemudian disimpulkan bahwa ternyata agama tertentu mengajarkan kekejaman dan kekerasan. Tidak demikian. Itu hanya perilaku oknum-oknum tertentu yang tak sepenuhnya bahkan tak sedikitpun “mewakilkan” apa yang dianut dan dipercayainya (agama).
Tapi, memang masih berlaku di masyarakat kita. Saat oknum tertentu bermasalah, imbasnya kepada nama baiknya, organisasi yang diikutinya, agamanya, nama baik lembaga di mana ia pernah belajar atau apapun yang menyangkut dirinya. Ikut kena getahnya. Sedih dan memilukan, tak ikut melakukan tapi ikut merasakan dampaknya.
Maka sebenarnya, setiap orang membawa nama baik apapun dan siapapun yang menyangkut dengan dirinya. Perlu kita rawat dan jaga, bukan karena manusia dan dianggap baik. Tetapi murni perjuangan dan pengorbanan kita agar lebih tulus diterima.